Sabtu, 16 Juni 2012

Analgesik Untuk Anak



Nyeri pasti pernah dialami oleh setiap anak, misalnya saja nyeri yang menyertai demam, nyeri pada gigi, nyeri kepala, nyeri setelah imunisasi, dan masih banyak jenis nyeri lainnya. Anak-anak umumnya tidak tahan dan cenderung menjadi rewel bila mengalami nyeri. Untuk itu dibutuhkan suatu obat pereda nyeri atau analgesik. Pemilihan analgesik untuk anak tentunya tidak hanya mempertimbangkan kemanjuran, tetapi juga faktor keamanan. Analgesik yang akan dibahas di sini adalah golongan antiinflamasi nonsteroid yang lazim digunakan sebagai obat bebas atau untuk swamedikasi (pengobatan sendiri), yaitu Paracetamol dan Ibuprofen.

Paracetamol

Paracetamol atau Acetaminophen digunakan secara luas sebagai pereda nyeri untuk nyeri ringan-sedang pada anak-anak. Walaupun obat ini cukup aman bagi anak, ada beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu:
-     Paracetamol sebaiknya tidak digunakan untuk swamedikasi nyeri selama lebih dari 5 hari pada anak. Jika nyeri berlanjut lebih dari 5 hari, segeralah periksakan anak ke dokter.
-    Untuk meminimalkan risiko overdosis, Paracetamol tidak boleh diberikan lebih dari 5 dosis pada anak dalam waktu 24 jam, kecuali diinstruksikan oleh dokter. Overdosis Paracetamol dapat menyebabkan kerusakan hati berat dan kematian. Oleh karena itu, orang tua dianjurkan untuk selalu mengukur dosis obat yang diberikan pada anak dan tidak boleh melebihi dosis harian yang direkomendasikan. Hindarilah pula menggunakan produk obat yang mengandung Paracetamol (misalnya dalam beberapa produk obat batuk dan flu) bersamaan dengan sediaan Paracetamol tunggal.

Ibuprofen

Sekarang ini penggunaan Ibuprofen sebagai analgesik pada anak juga semakin meluas. Ibuprofen digunakan secara swamedikasi sebagai pereda nyeri ringan yang berkaitan dengan flu, sakit kepala, sakit gigi, nyeri otot, dan demam pada anak di atas 2 tahun. Tetapi Ibuprofen tidak dianjurkan untuk swamedikasi pada anak di bawah usia 2 tahun atau untuk meredakan nyeri perut pada anak.
Dibandingkan Paracetamol, penggunaan Ibuprofen pada anak menimbulkan lebih banyak perdebatan mengenai efek samping yang mungkin ditimbulkan. Ibuprofen dikaitkan dengan peningkatan risiko gagal ginjal akut pada anak. Namun, suatu penelitian oleh Moghal dkk. (2004) mengungkapkan bahwa untuk penggunaan jangka pendek Ibuprofen dosis 5 - 10 mg/kg pada anak, risiko kerusakan ginjalnya kecil dan tidak berbeda signifikan dibandingkan dengan penggunaan Paracetamol dosis 12 mg/kg. Walaupun demikian, Ibuprofen sebaiknya dihindari penggunaannya pada anak yang mengalami dehidrasi atau berisiko dehidrasi. Selain itu, penggunaan Ibuprofen harus selalu disertai asupan cairan yang cukup.
Ada pula kekhawatiran bahwa Ibuprofen dapat memicu serangan asma pada anak yang memiliki riwayat asma. Namun, hal ini tidak terbukti dalam penelitian yang dilakukan oleh Kader dkk. (2004). Hasil penelitian mengungkapkan bahwa Ibuprofen sama amannya dengan Paracetamol untuk digunakan oleh pasien dengan riwayat asma, dan tidak memicu atau memperburuk asma. Walaupun demikian, Ibuprofen harus dihindari penggunaannya pada anak yang memiliki riwayat alergi/hipersensitivitas terhadap obat antiinflamasi nonsteroid (seperti Paracetamol, Aspirin, Ibuprofen, dll).

Pada dasarnya, baik Paracetamol maupun Ibuprofen aman jika dikonsumsi sesuai aturan pakai yang dianjurkan. Oleh karena itu, jangan segan untuk bertanya kepada dokter atau apoteker mengenai penggunaan obat yang aman bagi anak. Dengan demikian, risiko efek samping dan overdosis dapat dihindari.



Referensi:
  1. Kader, A., Hildebrandt, T., and Powell, C., 2004, How Safe Is Ibuprofen in Febrile Asthmatic Children?, Archives of Disease in Childhood, 89(9): 885-886.
  2. Koda-Kimble, M.A., et al., 2001, Applied Therapeutics: The Clinical Use of Drugs, 7th Edition, Lippincott Williams & Wilkins, USA.
  3. McEvoy, G.K., et al., 2002, AHFS Drug Information, American Society of Health-System Pharmacists, USA.
  4. Moghal, N.E., Hegde, S., and Eastham, K.M., 2004, Ibuprofen and Acute Renal Failure in a Toddler, Archives of Disease in Childhood, 89(3): 276-277.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar